Sunday, November 4, 2012

Pedagang Asongan Itu Seorang Guru


Aku berjalan cepat menyusuri trotoar berjalan bersampingan dengan Dita-sahabat karibku- melangkah menuju halte bis. Hari sudah mulai sore dan kami masih memakai seragam putih abuku. Kami langsung  duduk diatas bangku begitu sampai di halte. Beribu pikiran bertautan di otakku, mulai masalah rumah hingga di sekolah yang semuanya membuatku nyaris menyerah dan membenci hidup ini dan membenci semua orang. Seorang gadis kecil berpenampilan kusut berdiri dihadapanku dengan membawa kotak berisi banyak barang dagangan semacam rokok, permen dan lainnya. Gadis itu pedagang asongan.
“Kak, beli minumnya kak?” katanya sambil menawariku dan Dita sebotol minuman.
“Gak de, makasih” kataku singkat, terkesan sedikit jutek. Dita menoleh kearahku dengan wajah memelasnya.
“Minumnya kak? Atau permennya?” katanya lagi
“Key, belilah kasian dia” kata Dita memohon.
“Gak ah Dit gue gak haus, lagian bisnya udah datang tuh” kataku menunjuk bis yang menghampiri kami, aku langsung menarik Dita masuk kedalam bis yang sesak dengan penumpang.
Aku menghela nafas beratku ketika kami duduk di kursi, mungkin ini hari keberuntungan, biasanya kami tak dapat tempat duduk dan akhirnya berdiri. Dita duduk disampingku, ia masih menatapku dengan tatapan melasnya. Memang Dita orangnya gak tegaan kalau melihat anak kecil seperti itu.
“Udah ah Dit, jangan kayak gitu. Palingan juga itu mah ada bosnya” kataku yang akhirnya membuat Dita mengalihkan pandangannya.
“Ah, Keyna mah jahat” katanya dengan nada merengek yang samar-samar bisa kudengar.
**
            Sepulang ekskul karya ilmiah aku langsung pulang sendirian, katanya Dita sakit demam hari ini, jadi terpaksa aku berangkat dan pulang sendiri. Pertengkaran mama dan papa semalam masih terngiang di benakku. Mengingat-ingat kejadian itu membuat sesuatu-ide yang mungkin buruk- terlintas di benakku. Tak pulang ke rumah mungkin akan membuat hal lebih baik, tapi aku tak benar-benar siap. Hal lain yang melintas adalah berhenti sekolah dan mencari kerja, buat apa sekolah, toh aku sudah pintar lagipula aku juga jago menguasai beberapa bahasa asing. Uang di tabunganku menjadi salah satu faktor yang mendukungku untuk pergi dari rumah. Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat. Aku memutuskan untuk menunggu bis yang melaju ke arah Jakarta Timur, dan aku pergi ke halte bis yang berbeda dari biasanya.
Gadis kecil yang kemarin itu tiba-tiba muncul dihadapanku lagi.
 “Kakak kok pulangnya kesini?” tanyanya polos
“Iya dik” jawabku pendek.
“Loh kenapa kak? Oh ya, kakak mau beli minumnya gak?” tanyanya lagi, air mukanya menunjukkan kelelahan dan kepolosan, mungkin ia belum dapat uang hari ini.
“Dik, kamu kenapa bekerja sih? Kamu gak punyaorang tua?” selidikku. Gadis itu tersenyum manis sambil menunduk kebawah.
“Ibu sakit, Ayah sudah pergi, aku punya tiga adik, kak” jawabnya sambil tersenyum, aku bisa melihat kalau ini adalah senyum pedihnya.
“Nama kamu siapa? Umurnya berapa? Kamu gak sekolah?” tanyaku bertubi.
“Aku Mita, umurku sembilan tahun, sebenernya sih aku pengen sekolah kak” jawabnya.
“Coba kamu sini” kataku sambil menepuk-nepuk bangku kosong disampingku, seonggok rasa kasihan dan rasa ingin tahu menggerayungiku hinggaakhirnya aku memutuskan untuk mendengarkan ceritanya.
Karena aku anak tunggal, bisa dibilang aku di manja. Dulu waktu umurku sembilan tahun, aku masih bisa merengek untuk dibelikan ini itu, bahkan sampai SMA sekarang pun aku masih merengek dibelikan mobil sebagai kado ulang tahun.
“Aku kasihan sama Ibu, sama adik-adik kalau mereka gak makan” katanya pelan. “Makannya aku mending yang kerja” sambungnya mengakhiri cerita.
            Mendengar cerita Mita sampai malam begini membuatku sadar betapa kurang bersyukurnya aku. Aku masih punya orang tua yang lengkap walaupun mereka hobi sekali bertengkar tapi aku mungkin tahu bagaimana untuk mempersatukan mereka lagi. Aku tak perlu untuk bersusah payah sampai mengorbankan sekolahku hanya untuk mendapat sepeser uang. Dan betapa malunya aku disaat aku merengek meminta mobil, orang lain bahkan anak sekecil inipun masih bertahan hidup demi sesuap nasi.
 “Yaudah Mit, kakak beli minumnya nih” kataku sambil menukar uang dan botol minuman yang diberikan Mita. “Gak apa-apa, kembalinya buat kamu aja” sambungku begitu melihat Mita yang kaget saat aku memberikan selembaran uang seratus ribu rupiah.
“Ati-ati pulangnya ya, salam buat semua. Kapan-kapan kakak main ke rumah kamu ya” kataku tersenyum sambil mengusap-usap kepalanya. Mita mengangguk riang dan ia langsung berlari kecil menuju rumahnya dengan membawa uang yang sebenarnya tak seberapa.
Dari langkah-langkah kecil itu aku belajar caranya menghargai hidup dan semua yang aku punya.
**

No comments:

Post a Comment