Aku berjalan cepat menyusuri trotoar berjalan bersampingan dengan Dita-sahabat karibku- melangkah menuju halte bis. Hari sudah mulai sore dan kami masih memakai seragam putih abuku. Kami langsung duduk diatas bangku begitu sampai di halte. Beribu pikiran bertautan di otakku, mulai masalah rumah hingga di sekolah yang semuanya membuatku nyaris menyerah dan membenci hidup ini dan membenci semua orang. Seorang gadis kecil berpenampilan kusut berdiri dihadapanku dengan membawa kotak berisi banyak barang dagangan semacam rokok, permen dan lainnya. Gadis itu pedagang asongan.
“Kak, beli
minumnya kak?” katanya sambil menawariku dan Dita sebotol minuman.
“Gak de,
makasih” kataku singkat, terkesan sedikit jutek. Dita menoleh kearahku dengan
wajah memelasnya.
“Minumnya
kak? Atau permennya?” katanya lagi
“Key,
belilah kasian dia” kata Dita memohon.
“Gak ah Dit
gue gak haus, lagian bisnya udah datang tuh” kataku menunjuk bis yang
menghampiri kami, aku langsung menarik Dita masuk kedalam bis yang sesak dengan
penumpang.
Aku menghela
nafas beratku ketika kami duduk di kursi, mungkin ini hari keberuntungan,
biasanya kami tak dapat tempat duduk dan akhirnya berdiri. Dita duduk
disampingku, ia masih menatapku dengan tatapan melasnya. Memang Dita orangnya
gak tegaan kalau melihat anak kecil seperti itu.
“Udah ah
Dit, jangan kayak gitu. Palingan juga itu mah ada bosnya” kataku yang akhirnya
membuat Dita mengalihkan pandangannya.
“Ah, Keyna
mah jahat” katanya dengan nada merengek yang samar-samar bisa kudengar.
**
Sepulang ekskul karya ilmiah aku
langsung pulang sendirian, katanya Dita sakit demam hari ini, jadi terpaksa aku
berangkat dan pulang sendiri. Pertengkaran mama dan papa semalam masih
terngiang di benakku. Mengingat-ingat kejadian itu membuat sesuatu-ide yang
mungkin buruk- terlintas di benakku. Tak pulang ke rumah mungkin akan membuat
hal lebih baik, tapi aku tak benar-benar siap. Hal lain yang melintas adalah
berhenti sekolah dan mencari kerja, buat apa sekolah, toh aku sudah pintar
lagipula aku juga jago menguasai beberapa bahasa asing. Uang di tabunganku
menjadi salah satu faktor yang mendukungku untuk pergi dari rumah. Mungkin sekarang
adalah waktu yang tepat. Aku memutuskan untuk menunggu bis yang melaju ke arah
Jakarta Timur, dan aku pergi ke halte bis yang berbeda dari biasanya.
Gadis kecil
yang kemarin itu tiba-tiba muncul dihadapanku lagi.
“Kakak kok pulangnya kesini?” tanyanya polos
“Iya dik”
jawabku pendek.
“Loh kenapa
kak? Oh ya, kakak mau beli minumnya gak?” tanyanya lagi, air mukanya
menunjukkan kelelahan dan kepolosan, mungkin ia belum dapat uang hari ini.
“Dik, kamu
kenapa bekerja sih? Kamu gak punyaorang tua?” selidikku. Gadis itu tersenyum
manis sambil menunduk kebawah.
“Ibu sakit,
Ayah sudah pergi, aku punya tiga adik, kak” jawabnya sambil tersenyum, aku bisa
melihat kalau ini adalah senyum pedihnya.
“Nama kamu
siapa? Umurnya berapa? Kamu gak sekolah?” tanyaku bertubi.
“Aku Mita, umurku
sembilan tahun, sebenernya sih aku pengen sekolah kak” jawabnya.
“Coba kamu
sini” kataku sambil menepuk-nepuk bangku kosong disampingku, seonggok rasa
kasihan dan rasa ingin tahu menggerayungiku hinggaakhirnya aku memutuskan untuk
mendengarkan ceritanya.
Karena aku
anak tunggal, bisa dibilang aku di manja. Dulu waktu umurku sembilan tahun, aku
masih bisa merengek untuk dibelikan ini itu, bahkan sampai SMA sekarang pun aku
masih merengek dibelikan mobil sebagai kado ulang tahun.
“Aku
kasihan sama Ibu, sama adik-adik kalau mereka gak makan” katanya pelan. “Makannya
aku mending yang kerja” sambungnya mengakhiri cerita.
Mendengar cerita Mita sampai malam
begini membuatku sadar betapa kurang bersyukurnya aku. Aku masih punya orang
tua yang lengkap walaupun mereka hobi sekali bertengkar tapi aku mungkin tahu
bagaimana untuk mempersatukan mereka lagi. Aku tak perlu untuk bersusah payah
sampai mengorbankan sekolahku hanya untuk mendapat sepeser uang. Dan betapa
malunya aku disaat aku merengek meminta mobil, orang lain bahkan anak sekecil
inipun masih bertahan hidup demi sesuap nasi.
“Yaudah Mit, kakak beli minumnya nih” kataku
sambil menukar uang dan botol minuman yang diberikan Mita. “Gak apa-apa,
kembalinya buat kamu aja” sambungku begitu melihat Mita yang kaget saat aku
memberikan selembaran uang seratus ribu rupiah.
“Ati-ati
pulangnya ya, salam buat semua. Kapan-kapan kakak main ke rumah kamu ya” kataku
tersenyum sambil mengusap-usap kepalanya. Mita mengangguk riang dan ia langsung
berlari kecil menuju rumahnya dengan membawa uang yang sebenarnya tak seberapa.
Dari langkah-langkah
kecil itu aku belajar caranya menghargai hidup dan semua yang aku punya.
**
No comments:
Post a Comment